Pada zaman dahulu, hidup seorang
gembala yang bersemangat bebas. la tidak punya uang dan tidak punya keinginan
untuk memilikinya. Yang ia miliki hanyalah hati yang lembut dan penuh
keikhlasan; hati yang berdetak dengan kecintaan kepada Tuhan.
Sepanjang hari, ia menggembalakan
ternaknya melewati lembah dan ladang melagukan jeritan hatinya kepada Tuhan
yang dicintainya, "Duhai Pangeran tercinta, di manakah Engkau, supaya aku
dapat persembahkan seluruh hidupku kepada-Mu? Di manakah Engkau, supaya aku
dapat menghambakan diriku pada-Mu? Wahai Tuhan, untuk-Mu aku hidup dan
bernapas. Karena berkat-Mu aku hidup. Aku ingin mengorbankan domba-Ku ke hadapan
kemuliaan-Mu."
Suatu hari, Nabi Musa melewati padang
gembalaan tersebut. la memperhatikan sang Gembala yang sedang duduk di tengah
ternaknya dengan kepala yang mendongak ke langit. Sang gembala menyapa Tuhan,
"Ah, di manakah Engkau, supaya aku dapat menjahit baju-Mu, memperbaiki
kasur-Mu, dan mempersiapkan ranjang-Mu? Di manakah Engkau, supaya aku dapat
menyisir rambut-Mu dan mencium kaki-Mu? Di manakah Engkau, supaya aku dapat
mengilapkan sepatu-Mu dan membawakan air susu untuk minuman-Mu?"
Musa mendekati gembala itu dan
bertanya, "Dengan siapa kamu berbicara?"
Gembala menjawab, "Dengan Dia
yang telah menciptakan kita. Dengan Dia yang menjadi Tuhan yang menguasai siang
dan malam, Bumi dan langit."
Nabi Musa murka mendengar jawaban
gembala itu, "Betapa beraninya kamu bicara kepada Tuhan seperti itu! Apa
yang kamu ucapkan adalah kekafiran. Kamu harus menyumbat mulutmu dengan kapas
supaya kamu dapat mengendalikan lidahmu. Atau paling tidak, orang yang
mendengarmu tidak menjadi marah dan tersinggung dengan kata-katamu yang telah
meracuni seluruh angkasa ini. Kau harus berhenti bicara seperti itu sekarang
juga karena nanti Tuhan akan menghukum seluruh penduduk bumi ini akibat
dosa-dosamu!"
Sang Gembala segera bangkit setelah
mengetahui bahwa yang mengajaknya bicara adalah seorang nabi. Ia bergetar
ketakutan.
Dengan air mata yang mengalir
membasahi pipinya, ia mendengarkan Nabi Musa yang terus berkata, "Apakah
Tuhan adalah seorang manusia biasa sehingga Ia harus memakai sepatu dan alas
kaki? Apakah Tuhan seorang anak kecil yang memerlukan susu supaya Ia tumbuh
besar? Tentu saja tidak. Tuhan Maha sempurna di dalam diri-Nya. Tuhan tidak
memerlukan siapa pun. Dengan berbicara kepada Tuhan seperti yang telah engkau
lakukan, engkau bukan saja telah merendahkan dirimu, tetapi kau juga
merendahkan seluruh ciptaan Tuhan. Kau tidak lain dari seorang penghujat agama.
Ayo, pergi dan minta maaf, kalau kau masih memiliki otak yang sehat!"
Gembala yang sederhana itu tidak
mengerti bahwa apa yang dia sampaikan kepada Tuhan adalah kata-kata yang kasar.
Dia juga takmengerti mengapa nabi yang mulia telah memanggilnya sebagai seorang
musuh, tetapi ia tahu betul bahwa seorang nabi pastilah lebih mengetahui
daripada siapa pun. Ia hampir tak dapat menahan tangisannya.
Ia berkata kepada Musa, "Kau telah
menyalakan api di dalam jiwaku. Sejak ini, aku berjanji akan menutup mulutku
untuk selamanya." Dengan keluhan yang panjang, ia berangkat meninggalkan
ternaknya menuju padang pasir.
Dengan perasaan bahagia karena telah
meluruskan jiwa yang tersesat, Musa melanjutkan perjalanannya menuju kota.
Tiba-tiba, Allah Yang Mahakuasa menegurnya, "Mengapa engkau berdiri di
antara Kami dengan kekasih Kami yang setia? Mengapa engkau pisahkan pecinta
dari yang dicintai-nya? Kami telah mengutus engkau supaya engkau dapat
menggabungkan kekasih dengan kekasihnya, bukan memisahkan ikatan di
antaranya."
Musa mendengarkan kata-kata langit
itu dengan penuh kerendahan dan rasa takut.
Tuhan berfirman, "Kami tidak
menciptakan dunia supaya Kami memperoleh keuntungan darinya. Seluruh makhluk
diciptakan untuk kepentingan makhluk itu sendiri. Kami tidak memerlukan pujian
atau sanjungan. Kami tidak memerlukan ibadah atau pengabdian. Orang-orang yang
beribadah itulah yang mengambil keuntungan dari ibadah yang mereka lakukan.
Ingatlah, bahwa di dalam cinta, kata-kata hanyalah bungkus luar yang tidak
memiliki makna apa-apa. Kami tidak memperhatikan keindahan kata-kata atau
komposisi kalimat. Yang Kami perhatikan adalah lubuk hati yang paling dalam
dari orang itu. Dengan cara itulah Kami mengetahui ketulusan makhluk Kami
walaupun kata-kata mereka bukan kata-kata yang indah. Buat mereka yang dibakar
dengan api cinta, kata-kata tidak mempunyai makna."
Suara dari langit selanjutnya
berkata, "Mereka yang ter-ikat dengan basa-basi bukanlah mereka yang
terikat dengan cinta dan umatyang beragama bukanlah umatyang mengikuti cinta
karena cinta tidak mempunyai agama selain kekasihnya sendiri." Tuhan
kemudian mengajarinya rahasia cinta.
Setelah memperoleh pelajaran itu,
Nabi Musa mengerti kesalahannya. Sang Nabi pun merasa menderita penyesalan yang
luar biasa. Dengan segera, ia berlari mencari gembala itu untuk meminta maaf.
Berhari-hari, ia berkelana di padang rumput dan gurun pasir, menanyakan
orang-orang apakah mereka mengetahui pengggembala yang dicarinya.
Setiap orang yang ditanyainya
menunjuk arah yang berbeda. Hampir, ia kehilangan harapan, tetapi akhirnya
Allah Swt. mempertemukannya dengan gembala itu. Ia tengah duduk di dekat mata
air. Pakaiannya compang-camping, rambutnya kusut masai. Ia berada di tengah
tafakur yang dalam sehingga ia tidak memperhatikan Musa yang telah menunggunya
cukup lama.
Akhirnya, gembala itu mengangkat
kepalanya dan melihat Nabi Musa.
Musa berkata, "Aku punya pesan
penting untukmu. Tuhan telah berfirman kepadaku bahwa tidak diperlukan
kata-kata yang indah bila kita ingin berbicara kepada-Nya. Kamu bebas berbicara
kepada-Nya dengan cara apa pun yang kamu sukai, dengan kata-kata apa pun yang
kamu pilih. Apa yang aku duga sebagai kekafiranmu ternyata adalah ungkapan dari
keimanan dan kecintaan yang menyelamatkan dunia."
Sang Gembala hanya menjawab
sederhana, "Aku sudah melewati tahap kata-kata dan kalimat. Hatiku
sekarang dipenuhi dengan kehadiran-Nya. Aku takdapat menjelaskan keadaanku
padamu dan kata-kata pun tak dapat melukiskan pengalaman ruhani yang ada dalam
hatiku." Kemudian, ia bangkit dan meninggalkan Nabi Musa.
Utusan Allah ini menatap sang Gembala
sampai ia tak terlihat lagi. Setelah itu, ia kembali berjalan ke kota terdekat,
merenungkan pelajaran berharga yang didapatnya dari seorang gembala sederhana
yang tidak berpendidikan.
Doa sejati yang paling tinggi adalah
perenungan Tuhan dengan kalbu yang murni, yang terlepas dari semua hasrat
keduniawian, tidak terpaku pada sikap-sikap jasmaniah, tetapi dengan
gerak-gerik jiwa. (Ibnu Sina)
0 komentar:
Post a Comment